Permintaan Maaf untukmu, YUSAL
“Zzzz
. . . hoammm kenapa Pak??? “, Tanya Yusal padaku sambil mengucek kedua kelopak
matanya.
“Eh
bangun, apa Kamu tak malu diintip mentari?”, Kataku dengan senyum mengembang.
Yusal
adalah seorang siswa yang kuajak tinggal bersamaku selama Aku menjadi wali
kelasnya di sini. Pengetahuan SMA ku yang kuandalkan untuk menjadi guru honorer
sebelum langkah kakiku melangkah ke bangku kuliah membuatku harus bertemu
dengan Yusal, seorang anak yang jauh dari orang tuanya. Anak yang mengukir ilmu
dengan susah payahnya tanpa kontrolan dari tangan kedua bapak ibunya.
“
oh iya yah Pak. Pak, ke sekolah bareng Yusal aja yah Pak?”, Tanya Yusal
“
Ok nak”, jawabku menimpali.
Jarak
rumah kontrakanku selama di sini dengan sekolah lumayan dekat. Jadi, Aku dan
Yusal cukup mengandalkan kedua kaki kami tuk sampai ke sekolah tersebut.
Alangkah indahnya hidupku ketika Yusal telah resmi tinggal bersamaku. Setelah
kudapat persetujuan dari kedua orang tuanya di kampung dan kerabatnya yang
rumahnya tiga rumah jaraknya dengan rumah kontrakan yang sekarang kutinggali
bersama Yusal. Mereka, baik Ibu maupun anak-anaknya selalu menyapa dan memberi
senyum kepadaku ketika lewat di depan rumahnya.
“Pagi
Pak Anton, Yusal”, kata salah seorang anaknya
“Pagi
juga Dek..”, jawabku tak mau kalah.
Kelas
begitu ricuh, sebelum Aku masuk dan memulai pelajaran.
“Assalamu’alaikum”,
kataku
“wa’alaikummussalam”,
sorak anak-anak dengan suara lantangnya.
“baiklah,
naikkan kertasnya. Kita kuis hari ini
untuk materi minggu lalu”, kataku sambil membuka lembaran soalnya.
Spontan
anak-anak berteriak” kok kuisnya mendadak sih Pak?”
“memangnya
belajar itu jika ada hanya ujian yach? Tidak kan?” kataku dengan suara tegas.
Aku
tidak memberikan bocoran mengenai kuis ataupun sejenisnya yang mendadak bagi
siswaku kepada Yusal. Walaupun Dia tinggal bersamaku. Dia hanya biasa belajar
bersamaku ketika ada pelajaran yang Dia tidak mengerti. Hari terus berlalu
menjadi bulan.. kedua orang tua Yusal juga rajin mengirimkan makanan berupa
minyak, pisang, ubi, dan sebagainya ke rumah kontrakanku ketika Yusal mulai
tinggal bersamaku.
Hingga
tiba saatnya, 3 bulan lagi Yusal dan teman-temannya akan menghadapi ujian yang
ditunggu-tunggu jutaan siswa di seluruh Nusantara yang menentukan masa depan
mereka. Apakah perjuangan mereka selama ini akan tertulis dengan tulisan LULUS
atau TIDAK LULUS di secarik kertas ijazah itu.
Peningkatan
belajar Yusal di rumah lebih kutekankan dan kumaksimalkan demi masa depannya
kelak dan Aku sebagai wali kelasnya tak mau melihat anak waliku dinyatakan
tidak lulus.
“Pak
Anton, mohon bantuan dan doanya agar ujianku bisa lancar dan dapar memberi kabar
gembira buat kedua orang tuaku di kampung”, kata Yusal dengan muka berharap.
“Insya
Allah nak, Bapak akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu”, jawabku dengan
meyakinkan.
Semua
usaha, baik itu pengayaan, dzikir bersama maupun belajar ekstra telah mereka
lakukan selama 3 bulan terakhir ini. Hingga tiba saatnya, mereka harus berjuang
sendiri di sebuah ruangan yang super duper ketat pengawasannya. Di situlah
mereka harus menentukan jalan hidup mereka untuk ke depannya.
Seminggu
telah berlalu untuk ujian yang menegangkan itu. Hanya berdoa yang bisa mereka
lakukan setelah usaha mati-matian yang mereka lakukan selama ini. Hingga tiba
malam harinya sebelum pengumuman keesokan harinya. Kami para guru-guru beserta
kepala sekolah memperbincangkan hasil ujian itu.
“Kenapa
Pak Anton? Kok mukanya terlihat sedih?”, Tanya salah satu guru kepadaku.
Aku
pun menjawab dengan suara memelas, “Hanya satu anak wali saya yang tidak lulus.
Dia adalah siswa yang tinggal bersamaku, Yusal. Bapak-bapak, Ibu-Ibu sekalian,
Apakah tidak bisa anak ini diluluskan saja? Kasihan Dia”.
“Mohon
maaf Pak Anton, kami tak bisa mambantu. Nilainya terlalu rendah untuk
diluluskan. Nilainya jauh dari nilai standar untuk kelulusan ujian nasional”,
jawab kepala sekolah.
Pengumuman
dan jawaban itu seakan menusuk jantungku dan sekitarnya. Aku tak tahu harus
bagaimana mengatakannya pada Yusal dan keluarganya. Aku malu di hadapan mereka.
Mereka terlalu baik, selalu mengirimkan kami makanan dari kampung sebagai tanda
terima kasihnya kepadaku selama ini.
Sebelum
sampai ke rumah, Aku membeli ikan bakar yang besar sebanyak dua ekor. Aku ingin
makan enak bersama Yusal sebelum kami berpisah.
Sambil
memakan ikan bakar itu, kucoba mengatakannya. “Yusal, bagaimana rasa ikan
bakarnya?”
“Wah
enak sekali Pak. Tumben-tumbennya Pak Anton beli makanan seenak ini”, jawab
Yusal dengan suara datar.
“Sal,
bagaimana perasaanmu malam ini?” tanyaku lagi.
“Memangnya
kenapa pak? Perasaanku baik-baik saja pak. Malahan senang bisa makan enak”,
jawabnya sambil tertawa kecil kepadaku.
“Sal,
bagaimana yach.. bapak tidak tahu harus mulai dari mana”, kataku dengan suara
mengecil.
“Memangnya
kenapa pak? Apa yang mau bapak katakana?” tanyanya penasaran.
“Sal,
sebenarnya kamu tidak lulus”, kataku dengan suara yang pelan sekali.
Muka
Yusal tiba-tiba tertunduk ke bawah dan menghentikan makan ikan bakar di
hadapannya.
“Bapak
sudah berusaha untuk meminta kepada kepala sekolah untuk meluluskanmu. Tapi,
beliau tidak bisa. Nilaimu terlalu rendah untuk diluluskan. Ditambah lagi Sal,
seminggu lagi Bapak akan ke Makassar ke rumah kakakku di sana. Dia memanggilku
untuk kuliah di sana.
Yusal
tidak berkutik. Dia langsung meninggalkan meja makan begitu saja dan pergi
tanpa sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.
Aku
tak tahu harus bagaimana. Semuanya terjadi begitu saja. Takdir berkata lain
terhadap Yusal.
Keesokan
harinya, seminggu sebelum Aku pergi meninggalkan sekolah itu, Aku harus mengurus
semuanya. Aku harus bolak-balik ke sekolah tiap harinya. Tetapi, ada hal aneh
yang terjadi dengan kerabat Yusal yang rumahnya tak jauh dari rumahku.
“Cuihhhh..”,
kata tante Yusal ketika melihatku lewat depan rumahnya sambil meludah ke
depanku.
“Cuihhh..
Cuihh..Cuihh…”, kata ketiga anaknya seperti yang dilakukan Ibunya terhadapku.
Perlakuan
itu kualami hingga berhari-hari. Setiap Aku berjalan di depan rumah mereka.
Mereka telah menungguku di depan dan berjejer layaknya sebuah barisan yang siap
bertempur meludahiku ketika lewat. Aku pun tak bisa menghindarinya, karena tak
ada jalan lain kecuali lewat di depan rumah mereka. Perlakuan itu kualami hanya
karena mereka telah mengetahui bahwa Yusal tidak lulus ujian nasional. Aku pun
berusaha untuk menghindarinya. Tapi, mereka tahu kapan Aku lewat di depan rumah
mereka
Seminggu
berlalu, tiba saatnya. Aku dan Yusal harus berpisah. Walaupun sikap Yusal
berubah terhadapku sejak kejadian itu. Hari itu, uangku tinggal 14 ribu. Dan
rumah kontrakan itu pun juga sudah habis masa kontraknya. Jadi, mau tidak mau
Yusal pun juga harus pergi dari rumah kontrakan itu.
Dengan
suara merendah di hadapan Yusal, Aku katakan, “ Sal, uang Bapak tinggal 14 ribu
dan kontrakan ini pun sudah habis. Karena Bapak juga akan pergi jauh, maka uang
ini bapak bagi dua denganmu. Tujuh ribu untukmu dan tujuh ribu untuk Bapak”.
“Yusal, ini alamatku di Makassar. Kalau ada
sesuatu, cari saja bapak pada alamat itu”, kataku sambil menyodorkan secarik
kertas kecil kepada Yusal.
Hari
itu, kami berpisah dengan arah jalan yang berlawanan.
Kami
pun berpisah hingga saat ini. Aku terus menunggu kedatangan maupun kabar dari
Yusal, tapi dia tak kunjung datang. Pernah Aku mencoba untuk mencarinya di
kampungnya, tetapi hasilnya nihil. Nama yang biasa aku memanggilnya ternyata
berbeda dengan namanya di kampung. Tetapi, ketika Aku terakhir berkunjung ke
rumah kontrakanku dulu. Ternyata perlakuan keluarga Yusal selama ini telah
berubah. Mereka tidak lagi meludahiku, tetapi mereka malah menyapa dan memberi
salam kepadaku. Mungkin karena mereka telah melihat Aku sukses saat ini denagn
pakaian jas yang rapi. Kedatangan Yusal akan kutunggu sampai kapan pun. Aku
belum sempat meminta maaf kepadanya atas semua kejadian waktu itu sebelum
meninggalkannya.