-->
Hembusan Angin
Pembawa Duka
Tiitiit.. tiitiiit…, 1 pesan diterima, 2, 3, 4..
pesan diterima.
Bunyi ponselku ketika Aku baru saja terbangun untuk
salat subuh.
“Nayla salat subuh”, isi salah satu inbox ku.
“Asslm, waktunya salat subuh Nayla”, isi salah satu inbox ku lagi.
“Aku akan menunggumu hingga 4 tahun ke depan. Anaa yakin, engkau kan bersamaku di
kemudian hari”, isi salah satu inbox ku
“Nayla sedang apa”, isi salah satu inbox ku lagi.
Pesan singkat yang kuterima tiap harinya dari mereka
semua telah menjadi makanan sehari-hariku. Aku tak tahu apa yang menyebabkan mereka begitu yakin
dan percaya diri kepadaku. Pesan singkat mereka pun Aku balas satu per satu.
Mereka adalah para mahasiswa yang sama dengan fakultasku sekarang. Tapi, dengan
jurusan yang berbeda-beda pula.
“Bunga, Aku tak tahu bagaimana menghadapi mereka
semua. Deringan ponselku kucoba tuk tak mengangkatnya. Tapi, mereka dengan
beribu bahasa dan pertanyaan menyerangku jika Aku tak membalas ataupun
mengangkat teleponnya”, kataku kepada Bunga di salah satu kursi.
“Nay, coba kamu ganti dech nomormu. Pasti mereka tak
akan mengganggumu lagi”, jawab Bunga dengan penuh keyakinan.
“Bung, bukannya Aku tak mau mengganti nomor. Hanya
saja, nomor ini sudah banyak yang tahu”, jawabku tak mau kalah.
“Kalau begitu, pesan singkatnya maupun telponnya
nggak usah digubris Nay. Pasti mereka bakal bosan juga”, kata Zahrah salah satu
sahabatku juga.
“Sudah Aku lakukan, tapi mereka menganggapku marah
terhadap mereka. Pernah suatu hari Toni datang ke rumah hanya gara-gara Aku tak
membalas pesan singkatnya. Dia kira Aku marah padanya”, jawabku menimpali.
“Waduh, gawat tuch masalahnya ukhti”, kata Bunga dengan nada meninggi.
Ukhti
adalah panggilan akrab kami bertiga sejak dimulainya persahabatan kami di
bangku kuliah sejak satu setengah tahun yang lalu.
Hingga suatu hari kejadian itu terjadi padaku.
“Kata ketua tingkat, di belakang kampus ada danau
biru loh. Danaunya indah dan airnya pun jernih’, kata Zahrah kepada kami ketika
usai salat Asar di masjid kampus.
“Nayla ke masjid”,
“Nayla salat Asar”,
“Nayla keluar masjid”,
Nayla pulang, hati-hati di jalan”, isi pesan singkat
dari nomor yang tak kukenal.
Hingga akhirnya, kami pun berangkat menuju danau
biru itu. Tak ada firasat apapun mengenai hari itu.
Brakkkk.. sssttt………….
Rem cakram motorku dan pasir di pinggir jalan membuatku
jatuh tersungkur ke depan di pertigaan jalan menuju danau itu.
“Astaghfirullah..”, serentak Zahrah dan Bunga
Untungnya, ada rombongan mahasiswa tepat di belakang
motor kami. Jadi, mereka membantuku untuk bangun dan membersihkan luka di bibir
dan dagu serta lututku.
“Adek tak kenapa-napa?”, Tanya salah satu mahasiswa
di antara mereka sambil ingin memegang wajahku.
Tapi, Zahrah dengan gesitnya langsung mengalihkan
wajahku sebelum Dia memegang mukaku.
“Ini tissue Dek, sini biar kakak saja yang
membersihkan wajahmu”, kata salah satu mahasiswi di rombongan tersebut dengan
raut muka cemas.
Motor melaju kencang menuju rumahku yang jaraknya lumayan
jauh, dengan rasa sakit di dada, lutut, dan mukaku yang tak bisa kutahan. Air
mataku pun menetes dan membasahi jilbab pink ku yang kotor dengan lumuran
tanah.
“Kak Nayla kenapa? Kok bibirnya membengkak?”, Tanya
adikku penasaran
Aku tak mampu mengucap satu kata pun. Aku hanya
melihatnya di ruang tamu dengan langkah kaki yang pincang dan dirangkul oleh
Zahra dan Bunga menuju ke kamar pink ku.
Kulihat ponselku sambil rebahan di kasur hello kitty
ku.
“Nayla kecelakaan”,
“Nayla sakit”,
“Nayla sudah sampai di rumah”
Isi pesan singkat dari nomor yang tak kukenal selama
ini. Hati ini semakin takut, “Sebenarnya Dia itu siapa? Bagaimana bisa dia
mengetahui keadaanku sampai sedetail itu?”, kataku kepada Zahrah dan Bunga
“Iya yach, kok Dia bisa tahu sich keadaan ukhti sekarang ini. Berarti waktu di
tempat kejadian tadi, dia juga berada di sana. Tapi, yang mana yach?”, jawab
Bunga dengan raut muka penasaran.
‘Mungkin saja Dia itu jin kali yach? Bisa menghilang
kapan saja Dia mau”, kata Zahrah tak mau kalah.
Suasana malam itu pun menjadi riuh dengan lelucon
Zahrah dan Bunga hingga Aku pun tertawa sendiri dengan perlakuan orang itu.
Rasa sakitku pun seakan hilang sedikit dengan lelucon mereka saat itu. Aku juga
sudah bisa berbicara sedikit walaupun rasa sakit di bibirku belum hilang.
Suasana kembali tenang ketika mereka berdua telah
pulang ke rumah kontrakannya. Nenekku menyuruhku ke dokter samping rumahku
untuk check up kesehatanku akibat
kecelakaan tadi.
Keesokon harinya, Aku tak ke kampus. Dadaku terasa
sakit sekali. Aku pun tak sanggup mengendarai motor itu untuk jarak yang jauh.
Berhari-hari Aku tak ke kampsu hanya gara-gara kecelakaan itu.
“Asslamu’alaikum, bagaimana keadaannya?’, isi pesan
singkat dari salah satu temanku
Inbox
ku pun penuh dengan pertanyaan kabar keadaanku setelah kecelakaan, baik itu
dari teman kelas, seniorku, abiku,
maupun dari mereka yang selalu menelpon ku selama ini. Ternyata kabar
kecelakaanku telah menyebar hingga satu angkatanku maupun seniorku
mengetahuinya.
Tiga hari sejak kejadian itu, Aku pun kembali
beraktivitas di kampus dengan menggunkan masker. Hingga saat itu, tak ada lagi
pesan singkat yang kuterima dari nomor yang tak kukenal itu. Dia bagaikan angin
lalu yang singgah di kehidupanku.
Tapi, senior baik dari jurusanku maupun dari jurusan
lain masih saja tetap menggangguku seperti biasa. Seakan mereka menjadi
penyiksa batinku. Mereka tahu, aku hanya ingin mencari seorang pendamping
hidup, bukan seorang pendamping sementara. Tapi, mereka terus saja mengganguku
dengan keyakinan mereka akan menungguku 4 tahun kemudian.
0 komentar:
Posting Komentar